FKIP Gelar Visiting Lecturer: Jawab Tantangan Pemerataan Pendidikan di Tanah Air

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka (FKIP UT) berkomitmen penuh untuk mengembangkan kualitas pengajarnya dengan memperluas sumber pengetahuan yang didapat melalui berbagai langkah. Salah satunya adalah dengan menggelar Visiting Lecturer untuk memberikan paparan serta berbagi ilmu pengetahuan di bidang ilmu pendidikan dan keguruan. Pada 4 Agustus 2023, FKIP UT mengundang Prof. Thomas Luschei, Ph.D., seorang profesor pada School of Education Study Claremont Graduate University, California, Amerika Serikat. Beliau pun telah memiliki segudang pengalaman dan berbagai penelitian besar di bidang pendidikan dan keguruan.

Acara Visiting Lecturer ini diselenggarakan di Wisma 1 Lantai 2 Kantor Pusat Universitas Terbuka, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, serta disiarkan langsung melalui Zoom Meeting dan Youtube UT-TV. Dengan mengangkat tema “Equitable Access to High Quality Teachers: Bridging the Gap in Inclusive Education”, acara ini turut dihadiri oleh Dekan FKIP Prof. Dr. Ucu Rahayu, M.Sc., para Wakil Dekan FKIP, serta para dosen dan civitas akademika UT lainnya. Acara pun dibuka dengan sambutan oleh Dekan FKIP.

Prof. Ucu menyampaikan ucapan terima kasihnya atas kesediaan Prof. Thomas sebagai pembicara utama pada acara ini. Beliau menyampaikan bahwa FKIP UT diberikan mandat oleh pemerintah untuk meningkatkan kualifikasi pengajar di Tanah Air. Selain itu, FKIP memiliki misi meningkatkan kualitas sistem pendidikan dan menyediakan kebutuhan bagi para pengajar, serta memperluas akses unuk pendidikan tinggi ke seluruh pelosok negeri, dan melakukan riset penelitian sekaligus menyebarluaskan ilmu di bidang pendidikan dan keguruan.

Prof. Ucu pun berharap agar Prof. Thomas dapat memberikan pencerahan dan ilmu baru yang aktual sesuai dengan perkembangan ilmu pendidikan di taraf global, khususnya di bidang pemerataan akses terhadap pengajar berkualitas tinggi. “Semoga forum ini memberikan kami semua pengalaman berharga dan mampu membuka kesempatan luas untuk melakukan riset dan kerja sama kolaboratif dengan para pakar di bidang internasional,” tegas Prof. Ucu.

Selanjutnya, Prof. Thomas Luschei dalam paparannya menyampaikan bahwa pada dasarnya, kajian yang dilakukan berangkat dari pertanyaan: siapa saja siswa yang memiliki akses terhadap pengajar berkualitas, dan apakah akses ini dapat dirasakan semua siswa dengan latar belakang populasi dan lokasi berbeda? Penelitiannya yang berawal dari negaranya sendiri, Amerika Serikat, serta disandingkan dengan studi komparasi secara internasional untuk mendapatkan data yang holistik. Secara garis besar, ada 3 (tiga) poin yang Prof. Thomas sampaikan.

Pertama, pentingnya peran pengajar dan kualitas pengajar. Menurutnya, perbedaan keberhasilan siswa-siswa dapat dilatarbelakangi oleh berbagai faktor seperti kemampuan dan perilakunya, latar belakang keluarga dan lingkungan hidupnya. Namun faktor terbesar bagi seorang siswa adalah pengaruh pengajar dan kualitas pengajar tersebut di sekolah. Beliau pun menyampaikan beberapa bukti data terkait seberapa besar pengaruh kualitas pengajar bagi siswanya. Berdasarkan data tersebut, siswa dapat berkembang jauh lebih pesat ketika memiliki pengajar yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Namun, menurutnya, belum banyak penelitian yang dapat menentukan bagaimana seharusnya kualitas yang dimiliki seorang pengajar.

Kedua, permasalahan penyebaran pengajar dan ketidakmerataan akses terhadap pengajar berkualitas. Menurutnya, penyebaran pengajar berkualitas terjadi di berbagai belahan dunia. Masalah utama hal ini adalah, pada kebanyakan kasus, pengajar dengan kualitas tinggi lebih memilih mengajar di sekolah atau institusi pendidikan yang juga sudah memiliki siswa berkualitas tinggi, atau setidaknya, pengajar berkualitas tinggi secara umum akan mengajar siswa-siswa yang sudah memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas. Siswa-siswa ini datang dari keluarga dengan status sosio-ekonomi tinggi, dan para pengajar di sekolahnya pun diseleksi dengan ketat sehingga para siswa ini diajari oleh pengajar-pengajar terbaik. Hal ini secara struktural terjadi begitu saja di berbagai negara, sehingga gap atau ketimpangan antara daerah kota dan desa semakin besar. Di kota besar, siswa dengan status ekonomi tinggi diajarkan oleh pengajar berkualitas, sedangkan di desa, siswa dengan status ekonomi dan pendidikan rendah akan diajarkan oleh pengajar dengan pengalaman dan kualitas minim.

Prof. Thomas menyampaikan pandangan dan hasil temuannya terkait ketidakmerataan ini. Menurutnya, hal ini terjadi pula akibat keinginan para pengajar untuk bekerja di tempat dan kondisi yang nyaman, sehingga seluruh pengajar akan memilih mengajar di area perkotaan. Selain itu, pada beberapa negara, terdapat sistem kompetisi di mana seorang pengajar dengan skor tes terbaik dapat memilih di sekolah mana dirinya ingin bekerja, sehingga para pengajar berlomba-lomba memilih sekolah terbaik di area perkotaan.

Selanjutnya, profesor lulusan magister dan doktoral di Stanford University ini menyampaikan bahwa berdasarkan penelitiannya, Korea Selatan merupakan salah satu negara yang mampu mengatasi masalah pemerataan ini. Cara yang dilakukan Korea Selatan adalah dengan: (1) keseragaman pada kualitas pengajar, sehingga baik perkotaan maupun pedesaan memiliki pengajar berkualitas sama, (2) sistem yang mewajibkan pengajar agar berpindah tempat mengajar (rotasi) setiap 5 tahun sekali, sehingga seluruh sekolah dapat merasakan pengalaman diajarkan oleh pengajar berkualitas tinggi, (3) pemberian insentif tinggi bagi pengajar yang ingin mengajar siswa kurang beruntung, baik secara lokasi, sosial, ekonomi, maupun faktor lainnya. Prof. Thomas pun menghimbau agar kebijakan yang tersentralisasi dapat membantu pemerataan kualitas pengajar, sehingga tidak semua pengajar berfokus pada area perkotaan, tetapi juga pedesaan. Terakhir, menurutnya, pengembangan sarana dan prasarana di area pedesaan juga dapat membantu menarik minat para pengajar untuk bersedia mengajar di area pedesaan.

Ketiga, terkait menjembatani ketimpangan demi pendidikan yang inklusif. “Sustainable Development Goal (SDG) PBB Nomor 4 adalah memastikan pendidikan yang berkualitas, merata, dan inklusif serta mempromosikan pembelajaran sepanjang hayat bagi semua manusia”, ujar Prof. Thomas. Pria yang akrab disapa Tom ini menyatakan bahwa pada 20 negara, tidak ada satu pun wanita dengan status ekonomi rendah dan tinggal di pedesaan yang lulus sekolah menengah. Berdasarkan penelitiannya, di area pedesaan di berbagai negara hanya memiliki pengajar laki-laki dengan pengalaman rendah dan kualifikasi rendah pula. “Hal ini meresahkan bagi siswa perempuan, karena mereka tidak memiliki role model perempuan yang berpendidikan selama mereka bersekolah,” ujarnya.

Terakhir, Beliau menghimbau agar pengertian pendidikan inklusif harus diperluas, yaitu mencakup semua identitas, latar belakang, gender, status sosio-ekonomi, dan seluruh tingkat kecerdasan. Beliau pun meyakini bahwa penerapan Universal Design for Learning (UDL) menjadi solusinya. UDL merupakan sebuah aturan prinsip dalam pengembangan kurikulum yang dapat memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh siswa, termasuk siswa dengan disabilitas. Tujuan penerapan UDL adalah memastikan agar sistem inklusif dapat memenuhi potensi setiap siswa. Seluruh siswa harus memiliki akses yang sama terhadap sumber pengetahuan dengan kurikulum yang fleksibel dan relevan.

Acara pun diakhiri dengan sesi tanya jawab dan pemberian cinderamata serta sertifikat penghargaan. Kehadiran Prof. Thomas pada acara Visiting Lecturer ini memberikan banyak sekali ilmu bagi UT. Beliau dan penelitiannya di bidang pemerataan pendidikan semakin meyakinkan UT bahwa segala komitmen dan langkah yang UT ambil telah berada pada koridornya untuk semakin melaju menjawab tantangan pemerataan tersebut. Acara ini pun menjadi bukti nyata UT dalam lebih mengelevasikan lagi wawasannya, untuk memperoleh ilmu lebih dalam lagi agar UT dapat berkontribusi besar bagi Indonesia untuk menyebarluaskan pendidikan tinggi berkualitas ke seluruh pelosok negeri.